Oleh: Adv. Eko Puguh Prasetijo, S.H., M.H., CPM., CPCLE., CPArb., CPL
Pendahuluan
Negara hukum tidak runtuh oleh dentuman satu krisis besar. Ia justru melemah secara gradual, nyaris tak terasa, ketika pelanggaran-pelanggaran kecil dibiarkan berlalu atas nama toleransi, kemanusiaan, atau bahkan kebijaksanaan semu. Dalam ruang inilah rasio legis—akal budi pembentuk hukum—diperhadapkan pada ujian sunyi namun menentukan.
Keberadaan warga negara asing (WNA) tanpa dokumen keimigrasian yang sah di tengah permukiman warga bukan sekadar peristiwa administratif. Ia adalah cermin awal tentang bagaimana negara memaknai kedaulatan hukum dan sejauh mana konsistensi penegakan hukum masih dijaga dalam praktik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dokumen Keimigrasian sebagai Simbol Kedaulatan
Dalam perspektif negara berdaulat, dokumen keimigrasian tidak dapat direduksi menjadi sekadar kertas formalitas. Ia adalah instrumen pengenal status hukum, penanda legitimasi keberadaan seseorang di wilayah yurisdiksi negara lain. Tanpa dokumen, negara kehilangan pijakan epistemik untuk menentukan hak, kewajiban, dan tanggung jawab hukum subjek asing tersebut.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian secara tegas mewajibkan setiap orang asing memiliki dokumen perjalanan dan izin tinggal yang sah, serta menunjukkannya ketika diminta oleh pejabat berwenang. Norma ini tidak lahir dari kecurigaan berlebihan, melainkan dari kebutuhan fundamental negara untuk menjaga ketertiban hukum.
Tindakan Administratif sebagai Manifestasi Negara Hadir
Penyerahan WNA tanpa dokumen oleh Pemerintah Kelurahan Kepatihan kepada pihak Imigrasi tidak dapat dipahami sebagai tindakan represif. Justru sebaliknya, tindakan tersebut merupakan ekspresi paling jujur dari negara hukum yang bekerja secara proporsional dan berjenjang.
Di titik ini, negara hadir bukan untuk menghukum secara emosional, melainkan untuk menata. Aparatur pemerintahan tingkat kelurahan telah menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagai mata dan tangan awal negara, sebelum pelanggaran kecil bermetamorfosis menjadi preseden pembiaran.
Pembiaran sebagai Keputusan Politik yang Sunyi
Dalam teori hukum tata negara, pembiaran bukanlah posisi netral. Ia adalah keputusan diam-diam yang sarat konsekuensi. Negara yang membiarkan WNA tanpa status hukum tinggal di wilayahnya sedang membangun zona abu-abu hukum—ruang tanpa kepastian, tanpa tanggung jawab, dan tanpa kontrol.
Ironisnya, pembiaran kerap dibungkus dengan bahasa kemanusiaan. Padahal, kemanusiaan tanpa hukum justru membuka peluang ketidakadilan baru, baik bagi warga negara sendiri maupun bagi WNA yang bersangkutan.
HAM dan Ketegasan Hukum: Dikotomi Palsu
Hak Asasi Manusia kerap dijadikan dalih untuk menunda atau menghindari penegakan hukum. Padahal, dalam doktrin hukum modern, HAM tidak pernah berdiri berseberangan dengan hukum. HAM justru menuntut proses hukum yang sah, adil, dan manusiawi.
Menempatkan WNA tanpa dokumen dalam mekanisme hukum keimigrasian bukanlah pelanggaran HAM, melainkan bentuk perlindungan hukum itu sendiri—agar statusnya jelas, haknya terukur, dan tanggung jawab negara tidak mengambang.
Penutup
Negara hukum tidak membutuhkan keberanian untuk marah, tetapi keberanian untuk konsisten. Ketegasan administratif yang dilakukan secara prosedural adalah fondasi keadilan yang paling sunyi, namun paling menentukan. Di sanalah rasio legis diuji: apakah hukum masih dijalankan karena ia benar, atau hanya ketika ia nyaman.
Catatan Kaki
-
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, 2010.
-
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Macmillan, 1959.
-
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
-
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, 1987.
-
International Covenant on Civil and Political Rights, United Nations, 1966.
Penulis : Eko Puguh Prasetijo
Editor : Redaksi












