Catatan Publik tentang WNA Tanpa Dokumen dan Rasio Legis yang Diuji

Avatar photo

- Jurnalis

Kamis, 18 Desember 2025 - 20:39 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Adv. Eko Puguh Prasetijo, S.H., M.H., CPM., CPCLE., CPArb., CPL

Pendahuluan

Negara hukum tidak runtuh oleh dentuman satu krisis besar. Ia justru melemah secara gradual, nyaris tak terasa, ketika pelanggaran-pelanggaran kecil dibiarkan berlalu atas nama toleransi, kemanusiaan, atau bahkan kebijaksanaan semu. Dalam ruang inilah rasio legis—akal budi pembentuk hukum—diperhadapkan pada ujian sunyi namun menentukan.

Keberadaan warga negara asing (WNA) tanpa dokumen keimigrasian yang sah di tengah permukiman warga bukan sekadar peristiwa administratif. Ia adalah cermin awal tentang bagaimana negara memaknai kedaulatan hukum dan sejauh mana konsistensi penegakan hukum masih dijaga dalam praktik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dokumen Keimigrasian sebagai Simbol Kedaulatan

Dalam perspektif negara berdaulat, dokumen keimigrasian tidak dapat direduksi menjadi sekadar kertas formalitas. Ia adalah instrumen pengenal status hukum, penanda legitimasi keberadaan seseorang di wilayah yurisdiksi negara lain. Tanpa dokumen, negara kehilangan pijakan epistemik untuk menentukan hak, kewajiban, dan tanggung jawab hukum subjek asing tersebut.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian secara tegas mewajibkan setiap orang asing memiliki dokumen perjalanan dan izin tinggal yang sah, serta menunjukkannya ketika diminta oleh pejabat berwenang. Norma ini tidak lahir dari kecurigaan berlebihan, melainkan dari kebutuhan fundamental negara untuk menjaga ketertiban hukum.

Baca Juga :  Inspiratif, Lebih Dekat dengan Pembina OSIM MAN 3 Tulungagung, Eratkan Silaturahmi, Ada Manfaat Positif Bagi Kesehatan

Tindakan Administratif sebagai Manifestasi Negara Hadir

Penyerahan WNA tanpa dokumen oleh Pemerintah Kelurahan Kepatihan kepada pihak Imigrasi tidak dapat dipahami sebagai tindakan represif. Justru sebaliknya, tindakan tersebut merupakan ekspresi paling jujur dari negara hukum yang bekerja secara proporsional dan berjenjang.

Di titik ini, negara hadir bukan untuk menghukum secara emosional, melainkan untuk menata. Aparatur pemerintahan tingkat kelurahan telah menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagai mata dan tangan awal negara, sebelum pelanggaran kecil bermetamorfosis menjadi preseden pembiaran.

Pembiaran sebagai Keputusan Politik yang Sunyi

Dalam teori hukum tata negara, pembiaran bukanlah posisi netral. Ia adalah keputusan diam-diam yang sarat konsekuensi. Negara yang membiarkan WNA tanpa status hukum tinggal di wilayahnya sedang membangun zona abu-abu hukum—ruang tanpa kepastian, tanpa tanggung jawab, dan tanpa kontrol.

Ironisnya, pembiaran kerap dibungkus dengan bahasa kemanusiaan. Padahal, kemanusiaan tanpa hukum justru membuka peluang ketidakadilan baru, baik bagi warga negara sendiri maupun bagi WNA yang bersangkutan.

Baca Juga :  Panen Raya di Tulungagung Mundur, Diduga jadi Penyebab Harga Beras Naik

HAM dan Ketegasan Hukum: Dikotomi Palsu

Hak Asasi Manusia kerap dijadikan dalih untuk menunda atau menghindari penegakan hukum. Padahal, dalam doktrin hukum modern, HAM tidak pernah berdiri berseberangan dengan hukum. HAM justru menuntut proses hukum yang sah, adil, dan manusiawi.

Menempatkan WNA tanpa dokumen dalam mekanisme hukum keimigrasian bukanlah pelanggaran HAM, melainkan bentuk perlindungan hukum itu sendiri—agar statusnya jelas, haknya terukur, dan tanggung jawab negara tidak mengambang.

Penutup

Negara hukum tidak membutuhkan keberanian untuk marah, tetapi keberanian untuk konsisten. Ketegasan administratif yang dilakukan secara prosedural adalah fondasi keadilan yang paling sunyi, namun paling menentukan. Di sanalah rasio legis diuji: apakah hukum masih dijalankan karena ia benar, atau hanya ketika ia nyaman.


Catatan Kaki

  1. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, 2010.

  2. A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Macmillan, 1959.

  3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

  4. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, 1987.

  5. International Covenant on Civil and Political Rights, United Nations, 1966.

Penulis : Eko Puguh Prasetijo

Editor : Redaksi

Follow WhatsApp Channel azmedia.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Rawat Kebersamaan, Pejuang Perubahan Tulungagung Siapkan Doa Bersama untuk Matinya Demokrasi
Siap Berkontestasi pada Pilkada 2024, Banteng Tulungagung Lakukan Penguatan Internal
Inspiratif, Lebih Dekat dengan Pembina OSIM MAN 3 Tulungagung, Eratkan Silaturahmi, Ada Manfaat Positif Bagi Kesehatan
Kisah Sukses Rifqi Firmansyah, Menjajaki Bisnis Di Usia 26 Tahun, Hanya Bermodal Rp 15 Juta, Kini Miliki Brand Pakan Ternak Sendiri.
Banyak Cakada Bermunculan Menjelang Pilkada Tulungagung, Hanura Pilih Wait And See.
HOROR! Uji Nyali Menelusuri Bekas Pabrik Rokok Retjo Pentung Tulungagung.
Panen Raya di Tulungagung Mundur, Diduga jadi Penyebab Harga Beras Naik
Bulan Ramadan, Jajanan Pasar di Tulungagung Ludes Diborong Masyarakat

Berita Terkait

Kamis, 18 Desember 2025 - 20:39 WIB

Catatan Publik tentang WNA Tanpa Dokumen dan Rasio Legis yang Diuji

Senin, 25 Maret 2024 - 01:34 WIB

Rawat Kebersamaan, Pejuang Perubahan Tulungagung Siapkan Doa Bersama untuk Matinya Demokrasi

Sabtu, 23 Maret 2024 - 03:41 WIB

Siap Berkontestasi pada Pilkada 2024, Banteng Tulungagung Lakukan Penguatan Internal

Jumat, 22 Maret 2024 - 02:43 WIB

Inspiratif, Lebih Dekat dengan Pembina OSIM MAN 3 Tulungagung, Eratkan Silaturahmi, Ada Manfaat Positif Bagi Kesehatan

Kamis, 21 Maret 2024 - 02:50 WIB

Kisah Sukses Rifqi Firmansyah, Menjajaki Bisnis Di Usia 26 Tahun, Hanya Bermodal Rp 15 Juta, Kini Miliki Brand Pakan Ternak Sendiri.

Berita Terbaru