Tulungagung – azmedia.co.id — Prinsip equality before the law dan asas kepastian hukum kembali diuji dalam penanganan perkara dugaan pembunuhan bayi yang terjadi satu tahun silam di wilayah hukum Polres Tulungagung. Seorang oknum penyidik di Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim), khususnya pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), disinyalir menjalankan proses penyidikan yang tidak selaras dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) serta kerangka normatif hukum acara pidana yang berlaku.
Keluarga pihak terduga pelaku menyatakan kekecewaan mendalam atas absennya kejelasan status hukum perkara tersebut. Kekecewaan itu tidak berdiri di ruang hampa, melainkan diperparah oleh fakta bahwa keluarga mengaku telah mengeluarkan dana hingga puluhan juta rupiah, tanpa diikuti kepastian hukum yang transparan, terukur, dan akuntabel. Dalam perspektif negara hukum (rechtstaat), situasi demikian bukan sekadar problem administratif, melainkan indikasi krisis legitimasi dalam praktik penegakan hukum.
Secara normatif, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia secara tegas mengamanatkan tiga fungsi utama Polri, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah merumuskan secara rinci mekanisme penyidikan, penuntutan, hingga kepastian status hukum subjek perkara. Sementara itu, Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 mengatur penerapan restorative justice sebagai salah satu pendekatan penyelesaian perkara pidana tertentu di lingkungan Polri.
Namun, dalam praktik konkret perkara ini, norma hukum yang seharusnya menjadi kompas etik dan prosedural justru diduga diabaikan. Akibatnya, baik pihak keluarga korban maupun keluarga terduga pelaku terjebak dalam ruang ketidakpastian hukum yang berlarut-larut—sebuah kondisi yang secara filosofis bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Komunitas Masyarakat Tulungagung (KUMAT), Adi B, kepada awak media menyampaikan bahwa ketidakjelasan penanganan perkara pembunuhan bayi tersebut, termasuk dugaan adanya praktik pemerasan terhadap keluarga terduga pelaku hingga puluhan juta rupiah, telah dikoordinasikan secara resmi dengan Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Tulungagung.
“Dugaan pelanggaran SOP dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh AN, oknum penyidik Unit PPA Polres Tulungagung, telah kami koordinasikan dengan Propam. Dalam waktu dekat, kami akan menyerahkan data pendukung beserta keterangan saksi, baik dari keluarga terduga pelaku maupun dari pria yang menghamili terduga pelaku (FS), yang diduga turut dimintai sejumlah uang oleh oknum aparat hingga puluhan juta rupiah,” ujar Adi B.
Sementara itu, AN, oknum penyidik Unit PPA yang bersangkutan, untuk kedua kalinya memberikan keterangan singkat kepada awak media. Ia menyatakan bahwa seluruh penanganan perkara telah diserahkan kepada atasan langsungnya.
“Untuk perkara itu nanti biar Pak Kasat yang menghubungi Anda, Mas. Saya masih ujian kuliah,” ujar AN singkat.
Perkara pembunuhan bayi ini pertama kali mencuat ke ruang publik pada 9 Desember 2024, terjadi di Desa Pecuk, Kecamatan Pakel, Kabupaten Tulungagung. Terduga pelaku diduga melakukan pembunuhan terhadap bayi yang baru dilahirkan oleh FS, seorang siswi sekolah, di kamar mandi rumahnya sendiri.
Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan oleh pihak kepolisian bersama RSUD dr. Iskak Tulungagung, bayi tersebut dinyatakan meninggal dunia akibat kekerasan fisik berupa hantaman benda tumpul pada bagian wajah dan leher, yang menyebabkan pendarahan otak.
Hingga kini, satu tahun setelah peristiwa tersebut, keluarga terduga pelaku masih berada dalam kondisi psikologis yang diliputi kebimbangan dan kecemasan. Mereka mempertanyakan ke mana arah penegakan hukum akan dibawa, mengingat pengorbanan materi yang telah dikeluarkan tidak berbanding lurus dengan kepastian status hukum perkara. Dalam konteks ini, hukum seolah hadir bukan sebagai instrumen keadilan, melainkan sebagai labirin prosedural yang membingungkan dan melelahkan.
Penulis : Adi Bahtiar












