Editorial Nasional | Negara Hukum, Anggaran Publik, dan Kerja Nyata
Oleh: Adv. Eko Puguh Prasetijo, S.H., M.H.CPM.,CPCLE.,CPARb.,CPL
Pimpinan Redaksi rorokembang.com
ABSTRAK
Seremonial pemerintahan kerap dipraktikkan sebagai bagian dari aktivitas administratif negara. Namun, dalam realitas penyelenggaraan pemerintahan, tidak seluruh seremonial memiliki korelasi langsung dengan peningkatan pelayanan publik atau kesejahteraan masyarakat. Artikel ini menganalisis kedudukan seremonial pemerintahan dalam perspektif hukum administrasi negara serta implikasinya terhadap asas kemanfaatan, akuntabilitas, dan kecermatan dalam pengelolaan anggaran publik. Dengan pendekatan yuridis normatif, penelitian ini menyimpulkan bahwa seremonial nir-manfaat berpotensi menimbulkan cacat tujuan kebijakan dan membuka ruang penyalahgunaan wewenang apabila dilakukan secara sistematis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PENDAHULUAN
Negara hukum menempatkan anggaran publik sebagai instrumen utama untuk mewujudkan kepentingan umum. Dalam kerangka tersebut, setiap tindakan dan keputusan pemerintahan harus memiliki dasar hukum, tujuan yang sah, serta manfaat nyata bagi masyarakat. Namun demikian, praktik seremonial pemerintahan kerap dijalankan tanpa evaluasi substantif terhadap urgensi dan dampaknya.
Seremonial yang berorientasi simbolik—seperti peresmian berulang, deklarasi tanpa tindak lanjut, dan kegiatan representatif tanpa indikator kinerja—menimbulkan persoalan serius dalam tata kelola pemerintahan. Ketika kegiatan tersebut dibiayai oleh anggaran publik, maka pertanyaan mendasar bukan lagi soal kepatutan, melainkan soal legalitas dan kemanfaatan kebijakan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Data diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan, doktrin hukum administrasi negara, serta literatur mengenai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Analisis dilakukan secara kualitatif untuk menilai kesesuaian praktik seremonial pemerintahan dengan prinsip kemanfaatan dan akuntabilitas anggaran publik.
SEREMONIAL PEMERINTAHAN DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI NEGARA
Dalam doktrin hukum administrasi, tindakan pemerintahan harus memenuhi unsur kewenangan, prosedur, dan substansi tujuan. Seremonial pemerintahan pada dasarnya dapat dibenarkan sepanjang memiliki fungsi administratif yang jelas, seperti sosialisasi kebijakan atau koordinasi lintas lembaga.
Namun, ketika seremonial hanya berfungsi sebagai sarana pencitraan dan tidak memiliki output kebijakan yang terukur, maka kegiatan tersebut kehilangan justifikasi administratifnya. Dalam konteks ini, seremonial berubah menjadi aktivitas konsumtif yang tidak relevan dengan tujuan penyelenggaraan pemerintahan.
ASAS KEMANFAATAN DAN AKUNTABILITAS ANGGARAN PUBLIK
Asas kemanfaatan dan akuntabilitas merupakan bagian integral dari AUPB. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa setiap keputusan dan tindakan pemerintahan harus memberikan manfaat bagi masyarakat.
Penggunaan anggaran publik untuk kegiatan yang tidak menghasilkan manfaat konkret merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas tersebut. Meskipun secara administratif prosedur penganggaran telah dipenuhi, kegagalan memenuhi tujuan substantif menjadikan kebijakan tersebut bermasalah secara hukum.
POTENSI PENYALAHGUNAAN WEWENANG
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 melarang penyalahgunaan wewenang, termasuk penggunaan kewenangan yang menyimpang dari tujuan pemberiannya. Dalam hal seremonial nir-manfaat dilakukan secara berulang dan sistematis, terdapat indikasi bahwa kewenangan anggaran digunakan tidak untuk kepentingan publik, melainkan untuk kepentingan simbolik atau personal.
Kondisi ini menempatkan seremonial nir-manfaat bukan sekadar sebagai pemborosan anggaran, tetapi sebagai potensi pelanggaran hukum administrasi yang dapat diuji melalui mekanisme pengawasan dan peradilan tata usaha negara.
PENUTUP
Seremonial pemerintahan tidak dapat serta-merta dihapuskan dari praktik administrasi negara. Namun, keberadaannya harus tunduk pada prinsip kemanfaatan, akuntabilitas, dan tujuan hukum. Seremonial yang menghabiskan anggaran tanpa dampak nyata bagi masyarakat kehilangan legitimasi hukum dan bertentangan dengan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, diperlukan penilaian berbasis hasil (outcome-based evaluation) dalam setiap pembiayaan kegiatan pemerintahan.
CATATAN KAKI
¹ Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2010, hlm. 117.
² Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 89.
³ Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
⁴ Ibid., Pasal 17.
⁵ Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 136.
⁶ Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2004, hlm. 52.
⁷ Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 41.
⁸ Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 213.
⁹ Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air, Surya Pena Gemilang, Malang, 2013, hlm. 67.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2010.
Hadjon, Philipus M., et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.
Manan, Bagir. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016.
Suteki. Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air. Malang: Surya Pena Gemilang, 2013.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Penulis : Adv. Eko Puguh Prasetijo, S.H., M.H.CPM.,CPCLE.,CPARb.,CPL












