Editorial Akhir Tahun Negara Hukum.
Oleh: Adv. Eko Puguh Prasetijo, S.H., M.H., CPM., CPCLE., CPArb., CPL
(Putra Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya,
Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H.)
Salah satu ironi paling laten dalam praktik pemerintahan daerah di Indonesia adalah kebiasaan merayakan prestasi tanpa pernah sungguh-sungguh mengujinya. Penghargaan diumumkan dengan penuh seremoni, keberhasilan diklaim dengan narasi optimistik, namun relasi kausal antara kebijakan dan dampak sosialnya kerap dibiarkan kabur. Dalam situasi semacam ini, birokrasi memang tampak bergerak secara administratif, tetapi negara hukum justru kehilangan denyut rasionalitas dan mekanisme korektifnya. Pemerintahan berjalan, namun akuntabilitas tertinggal di belakang simbol.
Di titik inilah pernyataan seorang kepala daerah memperoleh makna etik yang jauh melampaui formalitas retorik. Ketika Bupati Tulungagung, H. Gatut Sunu Wibowo, menyatakan,
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mohon saya dikawal dan diingatkan bila jalan dan kebijakan kami tidak berpihak kepada rakyat Tulungagung,”
sesungguhnya yang sedang dibuka bukan sekadar ruang komunikasi publik, melainkan pintu legitimasi bagi pengawasan konstitusional yang bersumber dari kesadaran negara hukum itu sendiri.
Dalam perspektif hukum tata pemerintahan, pernyataan tersebut tidak dapat direduksi sebagai ungkapan kerendahan hati politik. Ia merupakan deklarasi etik yang bersifat normatif, sebuah persetujuan implisit atas prinsip bahwa kekuasaan administratif harus selalu siap diuji, dikritik, dan—bila perlu—dikoreksi. Negara hukum tidak pernah menjanjikan kenyamanan bagi penguasa, melainkan kepastian bagi warga negara bahwa setiap kebijakan tunduk pada rasionalitas hukum dan kepentingan umum.
Lebih jauh, dalam kerangka Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), setiap klaim prestasi pemerintahan tidak berdiri otonom sebagai narasi keberhasilan. Ia harus ditautkan secara ketat dengan asas kemanfaatan, keterbukaan, kecermatan, serta keberpihakan nyata kepada kepentingan umum. Prestasi yang tidak terukur dampaknya, tidak transparan metodologinya, dan tidak dapat diuji konsistensi kebijakannya justru berpotensi melahirkan risiko hukum administratif di kemudian hari.
Editorial ini tidak dimaksudkan sebagai penghakiman terhadap personal jabatan atau pilihan politik tertentu. Ia berfungsi sebagai alarm negara hukum—sebuah pengingat bahwa pemerintahan yang kuat bukanlah pemerintahan yang kebal kritik, melainkan pemerintahan yang secara sadar menyediakan mekanisme koreksi internal sebelum konflik sosial dan sengketa hukum muncul ke permukaan. Ketika kritik ditolak, hukum biasanya datang sebagai koreksi terakhir yang jauh lebih mahal secara sosial maupun politik.
Oleh karena itu, solusi yang bersifat win–win hanya mungkin dicapai melalui rekonstruksi tata kelola prestasi pemerintahan daerah. Orientasi harus digeser: dari simbol menuju dampak, dari seremoni menuju data, dan dari sikap defensif menuju keberanian korektif. Prestasi bukan lagi soal apa yang diumumkan, melainkan apa yang dapat dibuktikan secara empiris dan dipertanggungjawabkan secara yuridis.
Negara hukum tidak menuntut kesempurnaan dari para penyelenggara pemerintahan. Yang dituntut hanyalah kesediaan untuk diuji, keberanian untuk dibuktikan, dan kerendahan hati untuk diperbaiki. Di sanalah prestasi memperoleh makna substantifnya, dan kekuasaan menemukan justifikasi moral yang sah dalam kerangka konstitusional. Tanpa itu, prestasi hanyalah gema kosong dalam ruang seremoni, dan negara hukum berubah menjadi sekadar jargon administratif tanpa jiwa.
Catatan Kaki:
-
Mark Bovens, Public Accountability (Oxford: Oxford University Press, 2007), hlm. 182–185.
-
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 10 ayat (1).
Penulis : Adv. Eko Puguh Prasetijo, S.H., M.H., CPM., CPCLE., CPArb., CPL












