Tulungagung, AZMEDIA INDONESIA — Negara hukum tidak runtuh dalam semalam. Ia melemah perlahan ketika data tak lagi diverifikasi, standar mulai ditawar, dan pengawasan berubah menjadi sekadar formalitas. Situasi inilah yang kini disorot menyusul polemik penyaluran Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Kinerja Pendidikan Kesetaraan yang diduga mengalir ke satuan pendidikan nonformal atau PKBM yang secara faktual tidak memenuhi syarat.
Menurut Advokat sekaligus Pimpinan Redaksi rorokembang.com, Adv. Eko Puguh Prasetijo, S.H., M.H., CPM., CPCLE., CPArb., CPL, menilai persoalan tersebut tidak bisa dipandang sebagai kesalahan teknis belaka. Menurutnya, ketika bantuan berbasis kinerja diberikan kepada lembaga yang diduga tidak layak, maka yang dipertaruhkan bukan hanya penerima bantuan, melainkan integritas sistem negara.
“BOP Kinerja adalah kontrak hukum antara negara dan satuan pendidikan. Negara hanya membayar kinerja yang nyata, terukur, dan patuh standar. Jika itu dilanggar, maka legitimasi kebijakan ikut runtuh,” tegas Eko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mengingatkan bahwa Standar Nasional Pendidikan telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketika standar tersebut diabaikan, maka kebijakan turunannya berpotensi kehilangan dasar hukum.
Dalam perspektif pengelolaan keuangan negara, Eko juga menyinggung UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mewajibkan setiap rupiah uang publik dikelola secara tertib, taat aturan, transparan, dan bertanggung jawab. Penyaluran dana yang hanya bertumpu pada data administratif tanpa verifikasi faktual dinilai berisiko menggerus asas akuntabilitas.
Lebih jauh, Eko menyebut bahwa apabila data yang digunakan sebagai dasar pencairan dana negara terbukti tidak sesuai fakta, maka secara normatif hal tersebut dapat diuji dalam kerangka Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 3 dan Pasal 9. Namun ia menegaskan, penyebutan pasal-pasal tersebut bukanlah tuduhan pidana, melainkan peringatan dini.
“Dalam negara hukum, pasal pidana harus dibaca sebagai alarm, bukan ditunggu sampai krisis benar-benar meledak,” ujarnya.
Sorotan juga diarahkan pada peran Dinas Pendidikan. Menurut Eko Puguh Prasetijo, tanggung jawab hukum tidak otomatis berhenti ketika dana APBN telah ditransfer ke rekening PKBM. Justru setelah pencairan, kewajiban pengawasan substantif melekat pada dinas sebagai perangkat daerah.
Pembiaran pasca-pencairan, kata dia, bukan sikap netral, melainkan kegagalan menjalankan kewenangan pengawasan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Untuk mencegah pembiaran sistemik, Eko Puguh Prasetijo mendorong pengawasan BOP Kinerja dilakukan secara berlapis, mulai dari verifikasi faktual sebelum pencairan (ex ante), pemantauan aktif saat dana digunakan (on going), hingga evaluasi pasca-pelaksanaan (ex post) yang dapat berujung pada koreksi atau sanksi administratif.
Ia menegaskan, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menunjuk individu tertentu. Fokusnya adalah sistem, bukan personal.
“Editorial ini bukan vonis dan bukan tuduhan. Tapi jika negara terus membiarkan data menggantikan kebenaran, maka publik tidak lagi bertanya apa yang salah, melainkan siapa yang harus bertanggung jawab,” tandasnya.
Menurut Eko Puguh Prasetijo, negara masih memiliki ruang untuk memperbaiki arah kebijakan dengan membuka data secara jujur, melakukan verifikasi ulang, dan menegakkan standar tanpa kompromi. Namun jika kesempatan itu diabaikan, konsekuensi hukum dan krisis kepercayaan publik dinilai hanya tinggal menunggu waktu.
Penulis : M Habibul Ihsan
Editor : Redaksi
Sumber Berita: Rorokembang.com













