Tulungagung, AZMEDIA INDONESIA —Di tengah bertambahnya plakat dan seremoni penghargaan di Tulungagung, publik justru dihadapkan pada realita yang berjalan beriringan: persoalan hukum di layanan publik yang tak kunjung senyap. Fenomena ini memantik pertanyaan, terutama dari kalangan generasi muda, tentang seberapa jauh penghargaan benar-benar mencerminkan kualitas tata kelola pemerintahan.
Advokat dan Pimpinan Redaksi rorokembang.com, Adv. Eko Puguh Prasetijo, S.H., M.H., CPM., CPCLE., CPArb., CPL, menilai kondisi tersebut bukan kebetulan. Menurutnya, ketika penghargaan semakin ramai dirayakan sementara problem hukum terus muncul, maka yang patut diuji adalah sistem, bukan figur.
“Negara hukum tidak bekerja dengan kultus prestasi. Ia berdiri di atas mekanisme yang bisa diuji, diawasi, dan dikoreksi,” ujar Eko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menegaskan, persoalan bukan pada penghargaan sebagai bentuk apresiasi. Masalah muncul ketika penghargaan dijadikan etalase pencitraan, bukan cermin evaluasi. Yang ditampilkan adalah hasil, sementara proses dan celah pengawasan kerap luput dari perhatian.
Dalam praktik layanan publik, Eko menilai perkara hukum sering kali bukan kecelakaan tunggal, melainkan akumulasi pengawasan yang terlambat dan sistem pengendalian yang longgar. Kondisi ini membuat koreksi baru dilakukan setelah masalah mencuat ke ruang publik.
Bagi Gen Z dan milenial Tulungagung, logika tersebut justru sederhana. Jika sistem berjalan baik, kesalahan seharusnya terdeteksi sejak awal. Jika pengawasan efektif, problem tidak perlu menunggu viral untuk ditangani.
Dari perspektif hukum administrasi negara, situasi ini menyentuh Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Akuntabilitas dipertanyakan ketika tanggung jawab kabur, keterbukaan diuji saat publik lebih cepat mengetahui penghargaan daripada temuan masalah, dan kepastian hukum melemah ketika sanksi administratif tertinggal dari proses pidana.
“Semakin tinggi klaim prestasi, semakin berat beban pembuktiannya. Penghargaan bukan tameng hukum, bukan penunda audit, dan bukan penghapus tanggung jawab,” tegas Eko.
Ia menekankan bahwa sorotan ini bukan serangan personal. Tidak ada nama yang ditunjuk karena yang diuji adalah cara sistem bekerja. Menurutnya, negara hukum justru lebih terancam oleh pujian yang membius daripada kritik yang keras namun jujur.
Sebagai langkah korektif, Eko mendorong audit mendalam, transparansi sistemik, penerapan sanksi administratif secara paralel, serta pengawasan preventif sejak awal.
Plakat boleh terus bertambah. Namun kepercayaan publik tidak otomatis ikut naik. Ia hanya bisa dijaga dengan keberanian membuka diri, menerima koreksi, dan menegakkan hukum tanpa kompromi.
“Generasi muda sudah bertanya, publik sudah melihat. Kini saatnya sistem berhenti menikmati pujian dan mulai berani diuji,” pungkasnya.
Penulis : M Habibul Ihsan
Editor : Redaksi
Sumber Berita: RoroKembang.com













